Antara Ibadah dan Sistem: Ketika Haji Tak Lagi Sekadar Soal "Mampu"
Haji adalah rukun Islam yang diwajibkan bagi mereka yang mampu. Tapi apa yang terjadi ketika konsep "mampu" berhadapan dengan antrian puluhan tahun, logika investasi dana haji, dan kebijakan negara? Di sinilah muncul sebuah paradoks: kewajiban personal tersandera oleh sistem besar.
Tulisan ini mengajak pembaca—khususnya generasi muda yang terpelajar—membaca ulang kata "mampu" dengan jujur, bukan sekadar mempertahankan argumen lama. Saya menempatkan persoalan ini ke dalam tiga aspek singkat dan tegas: definisi kemampuan, keadilan antar generasi, dan implikasi pengelolaan dana.
1. Definisi "Mampu" yang Terbelah
Dalam teks agama, "mampu" umumnya dipahami sebagai kemampuan finansial dan fisik. Realitanya sekarang lebih kompleks. Seseorang mungkin punya tabungan cukup, sehat jasmani, dan niat kuat—tetapi terhalang oleh kuota, antrean bertahun-tahun, atau aturan administrasi.
Jadi apakah orang itu masih dinilai "tidak mampu"? Atau apakah sistem yang membuatnya tak mampu? Keduanya punya implikasi berbeda: pertama menyalahkan individu, kedua menempatkan tanggung jawab pada pengaturan publik.
2. Antrean Panjang dan Keadilan Antar Generasi
Antrian haji yang mencapai puluhan tahun bukan sekadar angka; itu adalah penundaan hak ibadah yang meresap ke dalam keluarga dan generasi. Bila dana calon jemaah "mengendap" di satu sistem selama puluhan tahun, pertanyaannya: siapa yang berhak atas manfaatnya? Calon yang menunggu? Negara? Atau struktur birokrasi yang mengatur kuota?
Generasi muda cenderung menilai sistem yang menunda-nunda sebagai tidak adil. Mereka melihat pengalaman ibadah sebagai sesuatu yang seharusnya bisa diakses ketika syarat-syarat klasik telah terpenuhi, bukan ditentukan oleh keberuntungan administratif.
3. Pengelolaan Dana: Investasi atau Masalah Moral?
Dana haji memang diinvestasikan untuk menjaga keberlanjutan penyelenggaraan. Namun investasi yang dilakukan atas nama publik harus dikawal ketat: transparan, akuntabel, dan etis. Ketika kasus-kasus korupsi atau penyalahgunaan muncul, seluruh legitimasi pengelolaan runtuh—dan wajar jika publik menjadi curiga.
Komponen moral di sini sederhana: uang yang dikumpulkan untuk ibadah tidak boleh menjadi sumber ketidakadilan. Kebijakan yang memperpanjang antrean demi keuntungan investasi berisiko menukar makna ibadah menjadi transaksi finansial.
Ringkasnya: kewajiban agama bersifat personal dan normatif; kenyataan sosial bersifat kolektif dan regulatif. Ketika keduanya tak selaras, muncul ketidakkonsistenan yang layak untuk ditinjau ulang.
Penutup — Tuntutan Kewajaran, Bukan Penolakan
Polemik ini bukan seruan menolak haji atau meremehkan kewajiban agama. Ini seruan menuntut keadilan: agar seseorang yang benar-benar memenuhi syarat "mampu" tidak tertahan oleh mekanisme yang bisa diperbaiki. Keadilan bukan sekadar angka—ia soal peluang yang setara untuk menunaikan kewajiban spiritual pada waktunya.
Catatan penulis blog: Anda dapat menambahkan bagian pengalaman pribadi, data antrean daerah, atau tautan sumber resmi (BPKH, Kemenag) jika ingin memperkuat argumen secara faktual sebelum dipublikasikan.
yang sangat jomplang adalah antrean haji itu sampai puluhan tahun
ReplyDeletejadinya lebih lama lagi kalau mau brangkat haji harus yang plus