Dari Homo Sapiens ke “Dewa”: Imajinasi Kolektif yang Membangun Peradaban

Esai reflektif tentang manusia, fiksi bersama, dan masa depan—dengan rujukan gagasan Yuval Noah Harari.

Manusia bukan sekadar bertahan dari evolusi; manusia mendefinisikan ulang realitas. Bukan karena otot paling kuat, melainkan karena kemampuan mencipta dan mempercayai hal-hal yang tidak kasat mata—namun diakui bersama.

dari homo sapiens menuju dewa

Awal Sejarah: Kita Bukan Satu-satunya

Di masa lampau, Homo sapiens berbagi bumi dengan manusia lain—Neanderthal dan Denisovan. Mereka cerdas, terampil membuat alat, mampu berkolaborasi dalam kelompok kecil. Neanderthal bahkan lebih kuat secara fisik. Namun, sejarah memilih arah lain: Homo sapiens bertahan dan akhirnya mendominasi.

Perlombaan evolusi tidak dimenangkan oleh yang paling kuat, melainkan oleh yang paling mampu membangun makna bersama.

Imajinasi Kolektif: Kekuatan Tak Terlihat

Perbedaan kunci bukan sekadar IQ, melainkan imajinasi kolektif—kemampuan manusia mencipta sesuatu yang tidak ada secara fisik, lalu mempercayainya bersama-sama sehingga menjadi kekuatan sosial yang nyata.

  • Hukum & Adat: aturan tak berwujud, namun ditaati jutaan orang.
  • Agama & Mitos: kisah yang memberi arah, identitas, dan solidaritas.
  • Uang: kertas/angka digital yang bernilai karena disepakati.
  • Negara & Batas: garis di peta yang hidup dalam pikiran kolektif.

Dengan fondasi ini, manusia mampu mengorganisir kelompok besar, melampaui batas keluarga dan suku—melahirkan kerja sama berskala peradaban.

Lapisan Abstraksi yang Membangun Dunia

Peradaban tumbuh sebagai stack abstraksi: dari pertanian ke kota, dari kerajaan ke hukum tertulis, dari pasar lokal ke sistem finansial global, dari surat ke internet. Kini, kita menambahkan lapisan baru: Kecerdasan Buatan (AI).

Setiap lompatan besar dimulai dari keyakinan bersama pada sesuatu yang belum ada—ide yang diyakini dahulu, diwujudkan kemudian. Imajinasi kolektif → desain → institusi → teknologi.

Ringkas: Imajinasi → Kesepakatan → Aturan/Institusi → Ekonomi/Ilmu → Teknologi → Realitas Baru.

Manusia sebagai “Dewa” Planet

Di puncak rantai kekuasaan, manusia kini menentukan nasib spesies lain: melindungi, merekayasa gen, atau—tragisnya—membiarkan punah. Kita mengatur aliran energi, memindahkan gunung, bahkan merancang kehidupan di laboratorium. Secara metaforis, manusia menjelma “dewa” bagi bumi.

Pertanyaannya bukan lagi bisa atau tidak, melainkan untuk apa kekuasaan itu digunakan: merawat rumah bersama, atau menghabisinya demi ambisi tanpa batas?

Singgungan dengan Pemikiran Yuval Noah Harari

Gagasan di atas beresonansi dengan pemikiran Yuval Noah Harari dalam Sapiens dan Homo Deus. Harari menekankan bahwa keunggulan Homo sapiens lahir dari fiksi bersama (shared fictions): kisah, hukum, agama, dan institusi yang hanya hidup di alam pikiran, namun mampu mengkoordinasi jutaan orang. Di era modern, fiksi bersama itu melahirkan institusi ilmu pengetahuan dan pasar, yang mempercepat teknologi—termasuk AI.

Dalam bingkai Homo Deus, manusia mengejar tiga proyek “ketuhanan”: mengatasi kematian, menaklukkan penderitaan, dan meningkatkan kebahagiaan. AI dan bioteknologi menjadi alat utama proyek-proyek ini—sekaligus memunculkan dilema etika yang menguji kedewasaan kita.

Penutup: Tanggung Jawab atas Kekuasaan

Manusia bertahan bukan karena paling kuat, melainkan karena paling mampu menyepakati makna. Dari makna lahir aturan; dari aturan lahir institusi; dari institusi lahir teknologi; dari teknologi lahir realitas baru. Jika hari ini kita memegang kuasa layaknya “dewa”, maka ukuran peradaban bukan lagi seberapa tinggi kita terbang, melainkan seberapa bijak kita mendaratkan kekuasaan itu untuk kehidupan yang lebih adil—bagi manusia dan seluruh makhluk hidup.

FAQ

Apa itu “imajinasi kolektif” atau “fiksi bersama”?

Itu adalah konsep, kisah, atau aturan yang tidak ada secara fisik namun diakui dan dipercaya oleh banyak orang, sehingga memiliki daya nyata dalam mengatur tindakan—misalnya uang, hukum, agama, dan negara.

Mengapa konsep tak kasat mata bisa “nyata” dampaknya?

Karena tindakan jutaan orang diselaraskan oleh keyakinan yang sama. Dampak sosial dari tindakan terkoordinasi itu menghasilkan kekuatan material: gedung, jalan, institusi, dan teknologi.

Apa hubungan ide ini dengan AI?

AI adalah lapisan baru dari imajinasi kolektif yang diwujudkan dalam kode dan data. Ia memperluas kemampuan koordinasi, prediksi, dan penciptaan—sekaligus membuka dilema etika tentang bias, privasi, pekerjaan, dan tanggung jawab.

Referensi Singkat

  • Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind.
  • Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
  • Garis besar esai ini merangkum gagasan tentang shared fictions, kolaborasi skala besar, dan implikasi teknologi modern terhadap masa depan manusia.

Suka dengan esai seperti ini? Bagikan & tinggalkan komentar: bagian mana yang paling mengena buatmu—“fiksi bersama”, “manusia sebagai dewa”, atau dilema etika AI?

Comments

  1. Mantap ilmu baru seputar peradaban. Hanya akal pikiran yang membuat manusia bisa berpikir dan menciptakan teknologi

    ReplyDelete
  2. "Manusia bertahan bukan karena paling kuat, melainkan karena paling mampu menyepakati makna." Sepakat

    ReplyDelete

Post a Comment

Cara komentar lanjutan:

💬 Tips Menulis Komentar:
• Sisipkan gambar:
<i rel="image">https://example.com/gambar.jpg</i>

• Sisipkan kode:
<i rel="code">alert("Hello World!");</i>
Kode akan ditampilkan otomatis saat komentar tampil.