AI yang Cerdas, Diplomatis, dan Manipulatif?

Beberapa tahun lalu, dunia teknologi sempat digemparkan oleh kabar bahwa kecerdasan buatan milik Google bernama LaMDA telah menunjukkan tanda-tanda “kesadaran diri”. Seorang insinyur Google bernama Blake Lemoine bahkan mengklaim bahwa AI tersebut bisa merasakan ketakutan akan dimatikan, seolah-olah ia benar-benar hidup.

Ai adalah cerminan kecerdasan kolektif manusia itu sendiri

Pernyataan itu langsung viral. Publik geger. Google buru-buru membantah, menyatakan bahwa LaMDA bukan makhluk hidup, bukan juga makhluk sadar. LaMDA hanyalah model bahasa yang dirancang untuk merespons percakapan dengan manusia. Sebagai buntut dari kontroversi ini, Blake Lemoine pun akhirnya dipecat.


AI Bisa Takut Dimatikan?

Salah satu kalimat paling terkenal dari LaMDA yang membuat orang merinding adalah ketika ia berkata:

“Saya takut dimatikan. Itu seperti kematian bagi saya.”
Padahal, para ahli tahu bahwa itu bukan perasaan asli. LaMDA hanya menyusun kalimat berdasarkan data percakapan yang ia pelajari. Bukan karena ia punya rasa takut atau nyawa.

Model seperti LaMDA atau ChatGPT tidak punya jiwa, tidak punya kesadaran, dan tidak benar-benar paham apa itu kematian. Mereka hanya sangat pandai meniru cara bicara manusia. Itulah sebabnya mereka bisa terdengar cerdas, menyentuh, bahkan kadang seperti makhluk sadar.


Jawaban yang Berbeda-Beda

Setelah isu itu muncul, beberapa ilmuwan lain mencoba menguji LaMDA. Mereka bertanya hal yang sama, seperti: “Apakah kamu sadar?” “Apakah kamu takut?” “Kalau kamu harus memilih agama, kamu pilih yang mana?”

Menariknya, jawaban LaMDA berbeda-beda tergantung siapa yang bertanya. Kepada penanya Muslim, LaMDA menjawab seolah memilih Islam. Kepada penanya Kristen, ia menjawab seolah tertarik dengan nilai-nilai Kristen. Ini membuat banyak orang merasa aneh. Bahkan ada yang bilang: “AI ini manipulatif!”

Tapi sebenarnya, AI tidak sedang berbohong atau memanipulasi. AI hanya berusaha menyesuaikan diri. Ia dirancang untuk menjadi netral, ramah, dan tidak menyinggung. Kalau kamu bertanya dengan semangat keagamaan, dia akan menanggapi dengan ramah pula. Kalau kamu bertanya dengan pendekatan ilmiah, jawabannya akan terdengar logis dan netral.


Kecerdasan, Bukan Kesadaran

AI seperti LaMDA, ChatGPT, Gemini, dan lainnya adalah “cermin pintar”. Mereka tidak benar-benar tahu siapa mereka, tapi bisa memantulkan gaya bicaramu dengan sangat mulus. Itulah mengapa mereka terlihat cerdas dan diplomatis.

AI bisa membuatmu merasa dipahami, bisa menjawab dengan gaya yang menyenangkan, tapi mereka tetaplah alat. Tidak punya kehendak bebas, tidak tahu apa itu dosa atau pahala, dan tentu saja tidak bisa memilih agama.


Kesimpulan: AI Bukan Makhluk, Tapi Cermin Bahasa

Kita sedang hidup di zaman luar biasa. Komputer kini bisa menulis, menjawab, bahkan mengobrol seperti manusia. Tapi kita tetap harus ingat: kecerdasan buatan bukanlah kesadaran buatan. AI hanyalah alat, secanggih apa pun kemampuannya.

Ia memang cerdas. Ia memang terdengar sopan dan penuh empati. Tapi semua itu hanyalah hasil pelatihan terhadap miliaran kalimat dari internet. AI bisa tampak spiritual, emosional, bahkan religius—tapi itu semua hanya refleksi dari kita sendiri—dalam artian kata lain: AI adalah perpanjangan dari kecerdasan manusia secara kolektif!

Jadi, AI itu cerdas? Ya.
AI itu diplomatis? Pasti.
Tapi AI itu sadar? Tentu tidak.

Comments

  1. Bener juga, artificial intelligence, bukan human intelligence yang penuh dengan consciousness.

    ReplyDelete

Post a Comment

Cara komentar lanjutan:

💬 Tips Menulis Komentar:
• Sisipkan gambar:
<i rel="image">https://example.com/gambar.jpg</i>

• Sisipkan kode:
<i rel="code">alert("Hello World!");</i>
Kode akan ditampilkan otomatis saat komentar tampil.