Paradox Malaikat dan Iblis
Agama, Iblis, dan Paradoks Kebaikan: Renungan tentang Keyakinan
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa agama adalah kebenaran. Kita tumbuh dengan keyakinan itu, seolah-olah ia adalah udara yang tak bisa dipisahkan dari hidup kita. Tapi bila direnungkan, agama sesungguhnya lahir dari keyakinan yang ditanam sejak dini—bukan dari logika murni yang bisa diuji dengan akal.
Mari kita lihat sejenak pada agama-agama besar yang disebut Abrahamik. Semua berakar dari satu sumber: tradisi Semit. Yahudi lahir lebih dulu, kemudian Kristen muncul, mungkin karena perbedaan budaya, mungkin karena Yahudi terlalu eksklusif. Lalu Islam hadir, menyesuaikan dengan watak Arab. Akar mereka sama, namun jalan yang mereka tempuh berbeda tajam.
Setiap agama membawa pesan yang sama: keselamatan hanya untuk mereka yang berada di dalam lingkarannya. Seolah-olah Tuhan berpihak hanya pada satu kelompok. Maka meskipun berasal dari akar yang sama, perbedaan tetap dijadikan alasan untuk berpisah, bahkan berperang.
Kita tahu, agama juga membangun peradaban. Ia memberi semangat, menyatukan bangsa, dan menumbuhkan kekuatan kolektif. Tapi sejarah menunjukkan, persatuan itu sering dibayar dengan darah. Bangsa-bangsa berperang, bukan semata karena tanah atau harta, tetapi karena keyakinan. Dan pola ini terus berulang hingga hari ini—kadang dengan wajah agama, kadang dengan wajah ideologi.
Yang menarik, setiap agama selalu menghadirkan dua tokoh utama: malaikat dan iblis. Malaikat digambarkan sebagai simbol kebaikan, namun hanya menolong kelompok tertentu. Tuhan pun, dalam kitab suci, sering kali digambarkan berpihak, bahkan merestui penghancuran mereka yang berbeda.
Lalu bagaimana dengan iblis? Ia adalah musuh bersama, simbol kejahatan. Tapi justru karena adanya iblis, kita bisa mengenal apa itu kebaikan. Tanpa lawan, kebaikan tidak pernah punya arti. Tanpa iblis, narasi agama mungkin tidak pernah lengkap.
Di sinilah paradoks itu muncul. Sejarah agama penuh dengan darah, jutaan manusia terbunuh, masing-masing yakin mereka mati syahid. Tapi siapa yang benar-benar akan masuk surga? Siapa yang akan menjadi penghuni neraka? Ironisnya, iblis yang dituduh jahat, tidak pernah terdengar secara nyata membantai manusia.
Maka saya mulai berpikir: mungkin kebaikan dan kejahatan hanyalah dua sisi dari irama alam semesta. Tidak ada yang mutlak benar, tidak ada yang mutlak salah. Tanpa keduanya, kehidupan ini tak akan pernah ada.
Akhirnya, manusia hanya diberi pilihan. Dan setiap pilihan, sekecil apapun itu, selalu membawa konsekuensi yang harus kita tanggung.
Ajakan untuk Berpikir
Jadi… jangan pernah takut berpikir kritis. Jangan takut menyentuh hal-hal yang dianggap tabu. Sebab dengan berani berpikir, kita belajar memahami diri dan dunia lebih dalam. Namun, ingatlah satu hal yang tak kalah penting: keberanian itu harus selalu diiringi dengan kebijaksanaan. Karena tanpa kebijaksanaan, kebenaran pun bisa berubah menjadi senjata.
Berpikirlah dengan berani, bertindaklah dengan bijak.
itu seperti surat Ibrahim ayat 22
ReplyDeletehitam itu diciptakan untuk mempertegas dan memperjelas warna putih. Kurang lebih seperi itulah
ReplyDeleteBenar juga ya, tanpa iblis maka kita tidak akan tahu kebaikan, lawan dari kejahatan simbol sang iblis
ReplyDelete