Paradox Sosial Indonesia: Budaya korupsi berakar dari masyakarat?

Budaya Korupsi di Masyarakat sebuah Paradox Sosial

Saya cukup terkesima dengan pernyataan Pak Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang juga kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, pernah menyampaikan pandangan yang cukup tajam: budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya terjadi di kalangan pejabat, tetapi juga berakar kuat di tengah masyarakat.

paradox masyarakat: Budaya korupsi mengakar dari masyarakat

Ia mencontohkan hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika seseorang diberi satu lapak di pasar, ia justru mengambil dua, meskipun yang satu bukan haknya. Atau ketika tempat sampah sudah disediakan, masyarakat tetap saja membuang sampah sembarangan. Bahkan ada yang memarkir kendaraan sembarangan hingga menutup akses rumah tetangganya, seolah-olah kenyamanan orang lain tidak penting. Semua ini menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat terbiasa mengambil celah demi keuntungan pribadi, meski harus merugikan orang lain.

Fenomena tersebut adalah bentuk penindasan yang tidak kasat mata: masyarakat saling merugikan satu sama lain, lalu bersama-sama membiarkan aturan dan hukum dipreteli sedikit demi sedikit.

Paradox Masyarakat

Tidak heran, ketika sebagian orang naik menjadi pejabat atau memegang kekuasaan, mereka hanya melanjutkan kebiasaan kecil itu ke level yang lebih besar. Seorang pebisnis misalnya, sering kali harus menyuap demi melancarkan usahanya. Kita mudah menyalahkan pejabat dengan dalih: “Itu karena pejabat korup, mempersulit urusan.” Tetapi pertanyaannya: jika kita berada pada posisi yang sama, apakah kita benar-benar yakin tidak akan melakukan hal serupa?

Contoh lain bisa kita lihat pada oknum polisi lalu lintas yang mencari-cari kesalahan pengendara lalu meminta uang sebagai "jalan keluar". Masyarakat melihat itu sebagai bentuk korupsi. Namun, kita lupa: polisi itu juga berasal dari masyarakat. Jika masyarakat sejak awal terbiasa dengan praktik curang, maka peluang lahirnya polisi atau pejabat yang curang pun semakin besar. Bahkan sejak masih bersekolah, tidak sedikit orang tua yang "menyuap" agar anaknya bisa lulus atau diterima di sekolah favorit. Semua itu membentuk pola yang diwariskan.

Penting untuk ditekankan: ini bukan pembenaran atas tindakan korupsi pejabat atau aparat. Melainkan ajakan agar kita melihat realitas secara utuh. Para pejabat sering kali tidak bisa dipercaya, karena mereka lahir dari masyarakat yang sebagian besar juga tidak bisa dipercaya. Meski begitu, tentu saja tidak semua pejabat korup, sama seperti tidak semua masyarakat berperilaku buruk. Masih banyak orang baik, hanya saja mereka sering tidak terlihat di tengah keramaian.

Perang Kepentingan dalam Masyarakat

Masalah bangsa ini tidak berhenti pada persoalan individu yang curang. Di tengah masyarakat sendiri terjadi perang kepentingan yang terus-menerus. Ada gesekan antara kelompok agama, budaya, bahkan antar-suku. Masih ada sebagian masyarakat yang menolak kehadiran kelompok lain hanya karena berbeda asal atau keyakinan. Hal ini melahirkan polarisasi dan memperlemah persatuan.

Di ranah politik, banyaknya partai seolah memberi kesan demokrasi yang matang. Namun kenyataannya, banyak partai belum tentu membawa kualitas, malah sering menjadi ajang perebutan kekuasaan dan kepentingan pribadi. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya memiliki dua partai dominan, namun sistem pemerintahannya relatif lebih stabil. Atau Tiongkok, yang dengan satu partai justru mampu mengelola negara secara lebih efektif.

Tiongkok memang belum diakui sebagai negara "paling bahagia" versi standar internasional. Namun banyak rakyat mereka mengaku merasa bahagia, karena merasakan pemerintahan yang stabil, infrastruktur yang maju, dan kehidupan yang semakin membaik. Lebih dari itu, korupsi di sana ditekan dengan hukuman yang sangat keras sehingga hampir tidak punya ruang untuk berkembang.

Peranan Keluarga.

Jadi dari masyarakatlah budaya korupsi itu bisa tumbuh, dan melahirkan banyak pemimpin korup pula. Banyak juga cerita lembaga sekolah dan pendidikan yang seharusnya mendidik tunas bangsa sedari awal malah melakukan pungutan spp, seragam sekolah, hingga iuran tidak jelas alias iligel. Jika sebuah pendidikan tempat generasi pemimpin bangsa sudah berawal begini, bagaimana nanti kelanjutannya?

Kita selalu mendengar kata: Penghasilan tidak cukup, kami terpaksa. Itu terjadi bukan karena cukup atau tidak cukup, baru baru ini seorang anggota DPR mengeluarkan pernyataan bahwa 50 juta rupiah untuk perumahan itu sangat kecil dan tidak memadai. Bayangkan dengan seorang rakyat yang dia wakili yang kebanyakan hanya hidup dari ngontrak pertahun seharga 5 juta rupiah? Kita selalu memanding kepada yang lebih besar, untuk memberi maaf pada perbuatan kita sendiri, tidak pernah membandingkannya dengan orang orang di bawah kita.

Di dalam keluarga sendiri ada tekanan dan harapan setelah anak anak di besarkan di sekolahkan, kamu harus membayar kembali semua biaya sekolah yang telah di habiskan oleh orang tua. Dan setelah anak itu beruntung dapat jabatan suatu hari ketika, ia akan berusaha memenuhi harapan keluarga tersebut, termasuk korupsi. 

Lalu budaya korupsi di perburuk oleh perilaku masyarakat yang masih tunduk kepada budaya feodal, di mana kalau pejabat dan orang orang berdarah raja adalah kasta tinggi yang harus di hormati dan di muliakan, bahwa mereka di pilih oleh tuhan, bukan oleh kerja keras, usaha dan kecerdasan.

Itulah sebabnya mengapa masyarakat di negara negara atheis seperti Jepang, cina, bahkan belanda dan swedia, lebih sering melahirkan para pejabat yang jujur, yang tidak segan segan mengundurkan diri saat merasa diri mereka terlibat skandal, mereka tidak terikat oleh emosi feodalisme, tidak didik oleh masyarakat dengan benih benih subur budaya korupsi.

Tapi tetap saja kita mengaku bisa masuk sorga dan mereka pasti akan masuk neraka.

negara paling beragama di dunia tapi paling korup

Harapan untuk Indonesia

Apakah masyarakat Indonesia seburuk itu? Tentu tidak. Masih ada harapan, selama kita memiliki pemimpin tertinggi—seorang presiden—yang benar-benar berfungsi sebagai panglima perubahan. Presiden harus menyadari bahwa memperbaiki bangsa tidak bisa hanya dengan mengatur pejabat, tetapi juga dengan membenahi akar masalah di masyarakat.

Aparatur Sipil Negara (ASN) harus dipilih berdasarkan integritas dan kualitas, bukan karena "anak pejabat", "kerabat pegawai negeri", atau karena ada koneksi orang dalam. Seleksi harus melahirkan orang-orang baik dari tengah masyarakat, yang kemudian ditempatkan pada posisi strategis.

Dengan cara itu, kita masih punya peluang besar untuk memperbaiki bangsa. Karena pada akhirnya, kepemimpinan yang berintegritas bukan hanya soal mengatur dari atas, tetapi juga soal membangun fondasi kepercayaan dari bawah.

Contoh Paradox Sosial di Kehidupan Sehari-hari

1) Sampah yang “Bukan Miliknya”

Warga menuntut sungai bersih, tetapi keesokan harinya mereka sendiri membuang plastik ke sungai dengan alasan: “Cuma sedikit.” Paradox: ingin lingkungan bersih, tapi ikut mengotori.

2) Parkir di Depan Rumah Orang

Kesal pada parkir liar yang bikin macet, tetapi memarkir mobil menutup pagar tetangga. Paradox: menuntut ketertiban, tapi melanggar aturan kecil.

3) Pemilu dan Politik Uang

Berteriak “tolak korupsi!”, namun menerima amplop saat pemilu. Paradox: ingin pemimpin bersih, tapi menjual suara.

4) Agama dan Toleransi

Berpidato tentang persaudaraan, tetapi menolak tetangga berbeda keyakinan menggunakan lahan ibadah. Paradox: mengajarkan toleransi, tapi menolak saat diuji.

5) Banyak Partai, Minim Kualitas

Bangga dengan banyaknya partai, namun praktiknya hanya bagi-bagi kekuasaan. Paradox: demokrasi sebagai alat kemajuan berubah jadi alat rebutan.

6) Moralitas Selektif: “Atas Nama Agama & Logika”

Seorang tokoh rajin mengutip dalil dan argumen logis untuk menilai benar–salah. Di media sosial, ia cepat mencela orang lain: “Mereka bodoh, mereka sesat, mereka tidak paham.” Namun ketika diminta menunjukkan teladan—mengelola sampah, antre tertib, transparan dalam urusan dana—ia selalu punya pembenaran: “Itu urusan kecil, yang penting niatnya.” Paradox: merasa paling benar dengan dalil agama dan logika, tetapi kontribusi nyatanya minim, kritiknya justru melukai dan menjauhkan orang dari nilai-nilai yang ia serukan.

Prinsip tanpa teladan adalah slogan; logika tanpa empati adalah celaan.

Inti pesannya: paradox sosial terjadi saat nilai yang kita serukan tidak selaras dengan perilaku sehari-hari. Perubahan dimulai dari kebiasaan kecil: tertib, jujur, dan saling menghormati—sebelum menuntut orang lain berubah.

Comments

  1. banyak paradox di negara kita, diantaranya mengkritik ketidak adilin ketika TIDAK berkuasa..... setelah berkuasa, pelaku utamanya adalah si tukang kritik ....

    ReplyDelete
  2. Iya begitulah adakalanya hal2 kecil yang malah menciptakan korupsi tanpa sadar. Moga saya selalu ingat, untuk gak mengambil hak orang lain. Di depan dan sebelah rumah pun ada space tanah, namanya rumah di kampung ya. Kalau ada orang yg numpang parkir, ini pun pada permisi dulu.

    ReplyDelete
  3. Yup..
    "Mr. Dedi Mulyadi's view is spot on. Thz social paradox requires a collective effort to overcome. Education n awareness about integrity n ethics are key to transforming thz culture."..

    ReplyDelete
  4. sebenarnya korupsi bisa ditekan dan diberantas sedikit2
    tetapi ya
    mau atau enggak
    kelihatannya sudah menjadi satu sistem
    dimana kalau masuk kedalamnya mau enggak mau kudu mengikuti sistem yang beredar

    ReplyDelete

Post a Comment

Cara komentar lanjutan:

💬 Tips Menulis Komentar:
• Sisipkan gambar:
<i rel="image">https://example.com/gambar.jpg</i>

• Sisipkan kode:
<i rel="code">alert("Hello World!");</i>
Kode akan ditampilkan otomatis saat komentar tampil.