ART OF THE DEAL versus ART OF WAR: PERANG CINA versus Amerika

Antara Art of the Deal dan Art of War: Dunia dalam Cengkeraman Transaksi

Saya ingin bercerita sedikit tentang dunia hari ini—dunia yang sedang diobok-obok oleh seorang pria yang terobsesi bukan hanya untuk menguasai dunia, tapi juga mengalahkan sejarah itu sendiri.
Dia bukan seorang jenderal, bukan pula seorang filsuf.
Dia adalah Donald Trump, seorang pebisnis yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, penulis buku kontroversial berjudul “The Art of the Deal.”

Art of war versus Art of the Deal

Trump naik ke puncak kekuasaan berbekal uang, popularitas, dan keyakinan bahwa isi bukunya bisa diterapkan pada seluruh dunia. Ia memandang negara-negara lain bukan sebagai mitra strategis, tetapi sebagai objek transaksi.
Termasuk Indonesia.


Transaksionalisme Global ala Trump

Dalam Art of the Deal, Trump menekankan prinsip negosiasi yang sepenuhnya transaksional:

“Segala sesuatu bisa dinegosiasikan—selama kamu tidak jadi pihak yang rugi.”

Ia mengajarkan strategi menekan, menggertak, dan menciptakan ketakutan. Jika lawanmu panik, kamu menang. Jika mereka setuju bernegosiasi, kamu juga menang. Intinya: kemenangan tidak datang dari keadilan, tetapi dari posisi tekanan.

Contohnya bisa kita lihat sendiri:

  • Indonesia dikenakan tarif 31% atas produk ekspor tertentu.
  • Lalu kita berangkat ke Washington untuk bernegosiasi.
  • Trump kemudian “murah hati” menurunkan tarif menjadi 19%, dan kita merasa menang.
  • Padahal sebelumnya tarifnya nol persen.

Ini sesuai skenario yang ia tulis sendiri dalam bukunya. Dan kita, dengan naifnya, masuk ke dalam jebakan itu.

Tak cukup di sana, Indonesia juga diminta membuka pasar lebih luas untuk produk Amerika, bahkan harus membeli tiga komoditas bernilai triliunan rupiah.
Dan sebaliknya, produk Amerika masuk ke Indonesia tanpa tarif.


Bukan Hanya Indonesia: Dunia Juga Jadi Kelinci Percobaan

Trump mengatur ulang hubungan internasional bukan dengan strategi diplomasi, tetapi dengan logika jual-beli.
Dunia dibuat sebagai perpanjangan meja negosiasinya.
Negara-negara seperti Kanada, Brasil, India, Uni Eropa, bahkan Jepang tidak lepas dari skema tekanan ini.

Termasuk Cina. Tapi sayangnya Cinalah negara pertama yang tidak mau tunduk.


Trump vs Cina: Art of the Deal Berhadapan dengan Art of War

Apa yang mungkin tidak dipahami Trump adalah:
Sebelum ia menulis Art of the Deal, bangsa Cina sudah ribuan tahun lebih dahulu punya buku berjudul “The Art of War” karya Sun Tzu.

Buku ini bukan hanya membahas strategi militer, tetapi juga politik, kepemimpinan, diplomasi, dan bahkan bisnis.
Prinsip utamanya adalah: “Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka seribu pertempuran akan kau menangkan.”

Beberapa ajaran penting Sun Tzu:

  • Kemenangan terbaik adalah kemenangan tanpa perang.
  • Gunakan kelemahan musuh untuk keuntunganmu.
  • Kendalikan emosi, jangan terpancing gertakan.
  • Intelijen dan kesabaran lebih tajam dari senjata.

Inilah yang tidak pernah dipahami oleh Donald Trump. Ia menyerang Cina dengan logika untung-rugi kasar, tapi Cina menjawabnya dengan kesabaran strategis yang halus dan panjang napas.


Gelombang Balik yang Tak Terelakkan

Alih-alih membuat dunia tunduk, pendekatan transaksional Trump justru memicu gelombang balik perlawanan global.
Cina tetap berdiri tegak.
Rusia membalas dengan penguatan aliansi timur.
India memilih jalur mandiri.
Uni Eropa menggugat kebijakan perdagangan AS.
Brasil dan Kanada ikut melawan.
Dan negara-negara di Asia Tenggara mulai menjauh secara halus.

Kebijakan “America First” perlahan terlihat sebagai jebakan kesepian.
Konsensus global justru semakin menjauh dari retorika keras ala Trump.


Indonesia Harus Belajar

Sebagai negara besar dan berdaulat, Indonesia tidak boleh larut dalam pujian palsu dari Trump, apalagi jika pujian itu hanya sekadar alat untuk mengikat kita dalam transaksi yang timpang.

Jangan bangga karena disebut teman dekat, jika pada akhirnya kita hanya dimanfaatkan sebagai pasar dan pembeli.


Penutup: Kecerdikan Bukan Segalanya

Kita harus mengakui: Trump adalah pemain transaksi yang cerdik.
Tapi kecerdikan tanpa kebijaksanaan bisa menjadi bumerang.
Dan Cina, dengan akar filsafat dan strategi ribuan tahun, sedang menunjukkannya perlahan—bahwa dunia tidak ditaklukkan dengan gertakan,
melainkan dengan ketahanan dan visi panjang.

Comments